TATA UPACARA ADAT GORONTALO (POHUTU)

 Tata upacara adat (pohutu) terbagi atas dua bagian :

1. Pohutu Liango (Suka/syukuran)

2. Pohutu Baya Bulilo (Kedukaan)

Dalam pelaksanaan Pohutu ini dibedakan dalam pohutu pongo-pongo abu dan pohutu wo'o wo'o po.

Pohuto pongo pongo abu melibatkan lipu duluwo lo'u limo lo pohala'a, sedangkan pohutu wo'o wo'o po dilaksanakan hanya oleh satu wilayah adat.

Disamping itu pula ada pohutu yang hanya dilaksanakan dalam kalangan keluarga yang dikenal dengan pohutu pohu-pohuli atau sesuai dengan kemampuan subyek pohutu.

Dalam menyelenggarakan pohutu ada beberapa komponen personil dan sarana peradatan, yakni :

1. Jajaran Taa Tombuluwo termasuk pengantin (bulenthiti)

2. Jajaran Taa Motombulu termasuk pembantu

3. Sarana/perlengkapan peradatan antara lain :

    - Pu'ade (Pelaminan)

    - Bulita lo adati (ruang sidang adat)

    - Tolitihu (tangga adat)

    - Banthayo (tempat duduk para undangan)

    - Pomama (tempat sirih, pinang)

    - Hukede (tempat meludah)

    - Toyungo bilalango (payung adat)

    - Sejumlah uang

    - Kue adat (undangan)

    - Tambulu (Genderang adat)

    - Polutube dan totaabu/alama, dimana yakni :

        - Totaabu untuk suka/syukuran

        - Alama untuk kedukaan

Dalam Upacara adat (pohutu) warna adat sangat di syaratkan yakni :

Pada Liango (upacara suka/syukuran)

Terdapat lima warna yang dominan dan disyaratkan yakni; merah, kuning, hijau, ungu, dan hitam. Untuk warna hitam berlaku bagi para ta'uwa atau penyandang pulanga (gelar adat) yang dihimpun pada para taa tombuluwo dan para ta'uwa motombulu, mulai dari wala'o pulu (sekwilcam) wali-wali mowali, baate/wu'u, kimalaha, (kepala desa/lurah, sikili/sek. kelurahan/desa).

Termasuk sarana peradatan, pu'ade (tempat pelaminan), huwali lo wadaka dan huwali lo humbiya (kamar hias dan kamar tidur), undangan dll. Kecuali Sarada'a, paaha, dan taa to tambulu (para pemain genderang adat). 

Pada Pohutu Baya Bulilo (Upacara Kedukaan)

Warna yang dominan yakni ; putih, biru dan hitam, disyaratkan pada pohutu baya bulilo (kedukaan). Pohutu baya bulilo diadakan pada :

- Upacara adat saat kedukaan/saat almarhum meninggal

- Upacara hari ketiga setelah almarhum meninggal

- Upacara hari kelima setelah almarhum meninggal

- Upacara hari ke tujuh setelah almarhum meninggal

- Upacara hari ke dua puluh setelah almarhum meninggal

- Upacara hari ke empat puluh setelah almarhum meninggal 

- Upacara hari ke seratus setelah almarhum meninggal

- Upacara tahunan/setiap tahun.

Pembagian warna dibagi sebagai berikut:

1. Warna putih, digunakan pada saat almarhum meninggal sampai dengan hari ke dua puluh.

2. Warna biru, di gunakan pada hari ke empat puluh almarhum meninggal

3. Warna hitam pada peringatan hari ke seratus almarhum meninggal.

Makna dari warna diatas yakni :

- Warna putih melambangkan roh almarhum masih disekitar rumah dan keluarganya

- Warna biru (wobulo) diartikan bahwa roh almarhum sudah menjauh dari ingatan keluarga yang              ditinggalkan.

 - Warna hitam (moyitomo) diartikan bahwa roh almarhum sudah kembali kealam roh, dan selanjutnya akan kembali saat keluarga mengadakan do'a arwah.


Sedangkan arti warna adat pada pohutu liango yakni lima warna yang disebutkan di atas (merah, kuning, hijau, ungu, dan hitam) mempunyai arti dengan menyesuaikannya dengan pemakaian (personil) dan sara peradatan sebagaimana penjelasan yang telah diuraikan diatas.

Sesuai penuturan narasumber/tetua adat bahwa warna pada pohutu liango (suka/syukuran), warna ini didasarkan pada lima unsur yang terdapat dalam diri manusia yakni ;

- Tulu ( Unsur api) dilambangkan dengan warna merah,

- Taluhu (Unsur air) dilambangkan dengan warna hijau lumut,

- Dupoto (Unsur angin) dilambangkan dengan warna ungu,

- Huta (Unsur tana) dilambangkan dengan warna kuning, 

- Ruh (Unsur roh)  dilambangkan dengan dengan warna hitam.

Pada pelaksanaan pembangunan hal ini dapat pula diartikan dengan pertanian, pengairan bencana alam, upacara adat dll.

Dalam pelaksanaan adat Gorontalo terdapat hal yang sangat prinsip yang tidak bisa dilanggar yang artinya hal tersebut tidak bisa ditolerir yang terkandung dalam pesan adat yaitu : 

"Didu boli didu boli didu boli limongoli didu boli-boliye, pohutuwalo odiye, tohulia tota'uwa tohulia hidudu'a hipakuwa, tota'uwa tohilia, hidudu'a hi pakuwa lo tadiya".

Artinya : Jangan sekali-kali dirubah-rubah olehmu, laksanakan sebagaimana adanya, dihilir dan dihulu telah ditetapkan, dihulu dan di hilir telah ditetapkan dengan sumpah.

Aturan adat yang bersifat prinsip tersebut antara lain :

1. Adat Gorontalo tidak dapat dilaksanakan tanpa dilandasi oleh ketentuan di dalam Al-Qur'an,                    misalnya pohutu (upacara adat) yang diberlakukan pada non muslim termasuk sarana ibadah mereka.

2. Pakaian adat harus digunakan oleh orang yang berhak memakainya, termasuk sarana adatnya,

3. dan Seterusnya.

Adat Gorontalo bersifat dinamis mengikuti perkembangan zaman. Dalam pelaksanaannya ada beberapa kelonggaran (supie), tetapi pada hal-hal yang prinsip tetap mengacu pada ketentuan diatas.

Misalnya : 

1. Momulanga (pemberian gelar adat) hal ini sudah di bahas pada seminar II pada tahun 1984

2. Adanya jabatan-jabatan  baru dalam sistem pemerintahan negara Republik Indonesia dimana jabatan     tersebut tidak didapati dalam sistem pemerintahan adat Gorontalo seperti ; Keberadaan Muspida,            DPR, Pengadilan Negeri, Kepala Badan, Kepala Dinas/Instansi dll.

    Dalam penyelenggaraan upacara adat, pakaian, tata aturan duduk, dapat diadakan penyesuaian                dengan berlandaskan prinsip adat tinepo yang menjadi bagian budaya Gorontalo.

3. dll.

Sifat dinamis  dari adat Gorontalo itu dilandasi oleh pesan adat yang berbunyi :

"Wonu moda'a taluhu, lumalilo pambango", artinya "Kalau perkembangan dalam struktur pemerintah dan kemasyarakatan, maka adat dapat menyesuaikan".


Gorpublik.com

Komentar

Postingan Populer